Tawassul Dengan Orang Mati
TAWASSUL DENGAN ORANG MATI
Pertanyaan.
Ada beberapa wasilah yang saya ketahui, yaitu wasilah dengan amal shalih, nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan wasilah dengan minta didoakan kepada (Allah, oleh-Red) orang lain yang masih hidup. Namun saya mendengar ada yang berwasilah dengan orang yang sudah meninggal dunia. Mereka beralasan dengan hadits:
1. إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
2. مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر
3. مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ تَشَفَّعَ بِهِ آدَم لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض: وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ
Selain tersebut di atas, orang juga berdalil dengan:
1. Do’a Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sholat hajat,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيْكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِ الرَّحْمَةِ يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي لِتَقْضِيَ (رواه الترمذي و النساء و ابن ماجه و الحاكم فِي الْمستدرك) وفِي لفظ آخر: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيْكَ نَبِيِ الرَّحْمَةِ يا مُحَمَّدُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أَتَوَسَّلُ بِكَ إِلىَ رَبِّكَ فِي حَاجَتِي لِيَقْضِيَهَا لِي اَللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
أَسْمَعُ صَلاَةَ أَهْلِ مَحَبَّتِي وَ أَعْرِفُهُمْ و تعرض على صلاة أَسْمَعُ صَلاَةَ أَهْلِ غَيْرِهِمْ عرضا حِيْنَمَا قِيْلَ لَهُ أَرَأَيْتَ صَلاَةَ الْمُصَلِّيْنَ عَلَيْكَ مِمَّنْ غَابَ عَنْكَ وَ مَنْ يَأْتِ بَعْدَكَ, مَا حَالُهُمَا عِنْدَكَ
3. Dishahihkan dalam Haditsnya Imam Malik bahwasanya Bilal bin Harits Radhiyallahu ‘anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a:
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا
Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة
4. Diceritakan dari shahabat Abil Jauza’ Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Penduduk Madinah mengalami paceklik, kemudian mereka mengadu kepada Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Hai penduduk Madinah, kalian lihatlah kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, buatlah jendela di atasnya sehingga antara kuburan dan langit tidak ada penghalang” Kemudian penduduk Madinah melaksanakannya, tidak beberapa lama kemudian hujanpun turun. Sehingga tahun tersebut disebut dengan ‘aamul fathi [HR. Ad-Darami dalam Shahihnya]
5. Tersebut dalam kitab Al Mawahib Al-Laduniyah karya Imam Qasthalani: “Ada seorang Arab mendatangi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berdiri ia berdo’a:
اَللَّهُمَّ إِنَّكّ أَمَرْتَ بِعِتْقِ الْعَبْدِ وَهَذَا حَبِيْبُكَ وَ أَنَا عَبْدُكَ فَأَعْتِقْنِي مِنَ النَّارِ عَلَى قَبْرِ حَبِيْبِكَ. فَهَتَفَ هَاتِفٌ يَا هَذَا تَسْأَلُ الْعِتْقِ لَكَ وَحْدَكَ, هَلاَّ تَسْأَلُ الْعِتْقَ لِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ , اِذْهَبْ فَقَدْ أَعْتَقْتُكَ
6. Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Khairaat Al-Hisaan, di dalam manakib Abi Hanifah An-Nu’maan pasal 25: “Sesungguhnya Imam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a. Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan”. Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.
7. Diceritakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
قَالَ أَبُوْ رَزِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ طَرِيْقِيْ عَلَى الْمَوْتَى فَهَلْ لِي كَلاَمٌ أَتَكَلَّمُ بِهِ إِذَا مَرَرْتُ عَلَيْهِمْ قَالَ: قُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ ونَحْنُ لَكُمْ تَبِعٌ وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ. قَالَ أَبُو رَزِيْنَ: هَلْ يَسْمَعُوْنَ؟ قَالَ: يَسْمَعُوْنَ وَلاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ أَنْ يُجِيْبُوْا أَيْ جَوَابًا يَسْمَعُهُ الْحَيُّ قَالَ ياَ أَبَا رَزِيْنَ أَلاَ تَرْضَى أَنْ تَرُدَّ عَلَيْكَ بِعَدَدِهِمْ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ ؟
8. Hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha
قَالَتْ: قُلْتُ كَيْفَ أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَعْنِي إِذَا زَارَتِ الْقُبُوْرَ؟ قَالَ : قُوْلِي السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدَّارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ وَ الْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
Dari hadits tersebut diatas kitab dapat mengetahui bahwa orang yang sudah mati bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup.
Jawaban.
Sebelum menjawab permasalahan ini, kami ingin menyampaikan dua point penting sebagai berikut.
1. Bahwa sumber agama Islam ini adalah Al-Qur’an/Al-Kitab dan Al-Hadits/As-Sunnah yang shahih. Tidaklah setiap orang yang membawakan sebuah hadits, lantas diterima! Tetapi perlu diteliti tentang kebenaran hadits tesebut, shahih atau tidak. Dan siapa saja yang berbicara mengenai agama Islam tanpa meruju’ kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, berarti telah berbicara atas nama agama Allah tanpa ilmu, yang hal itu merupakan dosa besar, bahkan lebih berbahaya daripada syirik! Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui”. [Al-A’raaf 7:33]
2. Barangsiapa menginginkan berada di atas keselamatan dan jalan yang lurus, maka dia harus berpegang teguh terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalih. Dalil-dalil tentang hal ini banyak sekali, baik dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah.
Adapun tentang pertanyaan antum, yang berkaitan dengan masalah tawassul dan wasilah, maka sebelum kami menjawabnya, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang makna kata-kata tersebut.
ARTI WASILAH SECARA BAHASA
Wasilah secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu: qurbah (perbuatan untuk mendekatkan diri); perantara; apa yang dapat menghantarkan dan mendekatkan kepada sesuatu; berharap; permintaan; kedudukan dekat raja; dan derajat. Lihat makna-makna ini di dalam kamus-kamus bahasa Arab, seperti: An-Nihayah, Al-Qamus, Mu’jamul Maqayis, dan lainnya.
ARTI WASILAH DI DALAM AL-QUR’AN
Perkataan wasilah disebutkan dua kali di dalam Al-Qur’an.
Pertama : di dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan“.[Al Maaidah 5:35]
Imamnya para mufassirin, Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata tentang makna “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan carilah qurbah (apa yang mendekatkan diri) kepadaNya dengan mengamalkan apa yang menjadikanNya ridha”. Ar-Raghib Al-Ash-fahani berkata di dalam Mufradatnya tentang makna firman Allah “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan hakekat wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah: menjaga jalanNya dengan beramal dan beribadah”.
Imam Ibnu Katsir menukilkan dari Ibnu Abbas tentang makna wasilah pada ayat itu adalah: qurbah (apa yang mendekatkan diri kepada Allah). Demikian juga Ibnu Katsir menukilkan pendapat Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lainnya. Ibnu Katsir juga menukilkan perkataan Qatadah tentang ayat tersebut, yaitu: “Hendaklah kamu mendekatkan diri kepada Allah dengan metaatiNya dan beramal dengan apa-apa yang menjadi keridhaanNya.”
Kemudian Ibnu Katsir berkata: “Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan padanya di antara mufassirin…wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk menghantarkan mencapai tujuan”
Ayat kedua pada firman Allah.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti” [Al Israa’ 17:57]
Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud, telah menyatakan sebab turunnya ayat ini yang menjelaskan maknanya, dia berkata: “Ayat ini turun mengenai sekelompok orang Arab yang beribadah/menyembah sekelompok jin, kemudian jin-jin itu masuk Islam, sedangkan manusia yang menyembah mereka tidak mengetahui”. [HSR. Muslim, Syarh Muslim 8/245; Bukhari semacamnya, Fathul Bari 8/320-321]
Ibnu Hajar berkata: “Yakni manusia yang menyembah jin terus menyembah jin, sedangkan jin tidak meridhainya, bahkan mereka masuk Islam. Jin itulah yang mencari wasilah (sarana/jalan) kepada Rabb mereka. Inilah yang dipegangi dalam penafsiran ayat ini.” [Fathul Bari 10/12-13]
Syeikh Al-Albani berkata: “Inilah jelas, bahwa yang dimaksudkan wasilah adalah apa yang dapat medekatkan diri kepada Allah, oleh karena itulah Allah berfirman: “mereka mencari”, yaitu mereka mencari apa yang dapat medekatkan diri kepada Allah Ta’ala, yaitu amalan-amalan yang shalih.”
Dan amalan itu menjadi shalih dan diterima di sisi Allah, jika memenuhi dua syarat –sebagaimana telah maklum-, yaitu: pelakunya meniatkan untuk mencari wajah Allah semata, dan kedua: sesuai dengan apa yang Allah syari’atkan di dalam kitabNya atau dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Jika kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalan itu tidak menjadi amalan shalih dan diterima oleh Allah.
ARTI TAWASSUL
Sedangkan tawassul adalah melakukan wasilah, yaitu melakukan apa yang dapat medekatkan diri kepada sesuatu. Tetapi istilah tawassul sering dimaksudkan dengan arti: berdoa kepada Allah dengan perantara.
TAWASSUL MASYRU’
Tawassul ada yang diajarkan oleh agama, yang disebut dengan istilah tawassul masyru’ (tawassul yang disyari’atkan), sehingga dapat diamalkan. Ada juga yang tidak diajarkan oleh agama, sehingga tidak boleh diamalkan, karena tawassul termasuk ibadah, sedangkan ibadah haruslah berdasarkan tuntunan. Tawassul yang tidak ada tuntunannya ini disebut tawassul mamnu’ (tawassul yang terlarang).
Adapun jenis-jenis tawassul masyru’ -secara ringkas- adalah:
1. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara nama Allah atau sifatNya.
وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu” [Al A’raaf/ 7 : 180]
2. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara amalan shalih yang dilakukan oleh orang yang berdoa.
رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):”Berimanlah kamu kepada Rabbmu”; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakt“. [Al Imraan/3 : 193]
3. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara doa orang shalih yang masih hidup.
عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِِ ادْعُ الهَت أَنْ يَسْقِيَنَا فَتَغَيَّمَتِ السَّمَاءُ وَمُطِرْنَا حَتَّى مَا كَادَ الرَّجُلُ يَصِلُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَلَمْ تَزَلْ تُمْطَرُ إِلَى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ فَقَامَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ غَيْرُهُ فَقَالَ ادْعُ الهَا أَنْ يَصْرِفَهُ عَنَّا فَقَدْ غَرِقْنَا فَقَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَجَعَلَ السَّحَابُ يَتَقَطَّعُ حَوْلَ الْمَدِينَةِ وَلاَ يُمْطِرُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ
“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhotbah pada hari jum’at, lalu seorang lelaki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hujan kepada kami”. Maka langitpun mendung, dan kami mendapatkan hujan, sehingga hampir-hampir lelaki tadi tidak sampai ke rumahnya. Terus-menerus hujan turun sampai jum’at berikutnya. Maka lelaki itu, atau lainnya, berdiri lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia memalingkankan hujan dari kami, karena kami telah kebanjiran”. Maka Rasulallah n berdoa: “Wahai Allah jadikanlah hujan sekitar kami, jangan kepada kami. Maka mulailah awan menyingkir di sekitar kota Madinah, dan tidak menghujani penduduk Madinah” [HSR. Bukhari]
TAWASSUL MAMNU’
Setelah menyebutkan ketiga jenis tawassul masyru’ di atas Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Adapun tawassul- tawassul selain ini, maka terjadi perselisihan. Sedangkan yang kami yakini dan kami jadikan agama kepada Allah adalah bahwa hal itu tidak boleh, tidak disyari’atkan. Karena tidak ada dalil padanya yang dapat menegakkan hujjah, dan telah diingkari oleh para ulama peneliti pada generasi-generasi Islam yang silih berganti. Walaupun sebagian ulama telah membolehkan sebagian (jenis) tawassul, imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, sedangkan imam Syaukani membolehkan bertawassul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan lainnya, dari para nabi dan orang-orang shalih, tetapi kami –sebagaimana kebiasaan kami di dalam seluruh perkara-perkara yang diperselisihkan- hanyalah mengikuti dalil yang ada, kami tidak fanatik pada manusia, kami tidak cenderung kepada seorangpun kecuali karena kebenaran yang kami lihat dan kami yakini. Sedangkan dalam masalah tawassul, kami melihat bahwa kebenaran bersama orang-orang yang melarang bertawassul dengan makhluk.
Dan kami tidak melihat dalil shahih yang dapat dipegangi bagi orang-orang yang membolehkannya. Dan kami menuntut mereka untuk membawakan nash shahih dan nyata dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang bertawassul dengan makhluk, tetapi sangat jauh mereka mendapati sesuatu yang menguatkan pendapat mereka, atau menyokong dakwaan mereka, kecuali kesamaran-kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan, yang kami akan membantahnya setelah ini.” [Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Al-Albani, hal: 46-47]
Tawassul- tawassul yang terlarang itu seperti: tawassul dengan kehormatan, kemuliaan, hak, kedudukan makhluk atau orang yang telah mati, baik dari kalangan nabi, orang shalih atau lainnya.
Bersambung ke artikel “Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahannya“.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2757-tawassul-dengan-orang-mati.html